Kamis, 17 Maret 2016

AMAL JARIYAH

Amal Jariyah adalah amal yang manfaatnya berlanjut. Atau sesuatu amal yang manfaat dari amal itu berlanjut.
Apa itu amal? Amal adalah segala aktivitas kita, baik aktivitas indra, fisik, pikiran atau aktivitas hati. Jadi perbuatan amal tidak hanya sekedar aktivitas fisik saja, berpikir juga bisa menjadi amal. Dan tafakur itu merupakan amal yang luar biasa. 
Pemahaman kita pada umumnya menganggap bahwa amal itu harus yang kasat mata, sesuatu yang fisikly, kalau yang bukan fisikly bukan amal. Padahal amal itu adalah semua aktivitas kita, dan setiap amal pasti diawali dengan niat. Amal tanpa niat tidak bisa disebut amal, contohnya orang ngelindur atau orang gila. Ngelindur itu adalah aktivitas, tapi tidak ada niatnya, tidak ada motifnya. 
Contoh lain misalnya, orang gila yang mengganggu di jalan umum. Apakah perbuatan orang gila itu perbuatan buruk? Atau apakah perbuatannya itu merupakan amal yang baik? Kita dapat meyakini bahwa perbuatan orang gila itu bukanlah amal. Jadi bisa didefinisakan bahwa amal itu segala aktivitas yang disertai dengan niat, jadi ada unsur kesengajaan. Kalau tidak ada unsur kesengajaan dan tidak ada niatnya, maka tidak bisa disebut sebagai amal. Dan yang lebih menentukan amal itu baik apa buruk tergantung kepada baik atau tidaknya niat itu. Amal itu ada yang baik dan ada amal yang tidak baik. 
Dan terkait dengan “cara”, tapi yang lebih menentukan amal itu baik apa buruk tergantung pada baik apa buruknya niat. Meskipun caranya benar tapi kalo niatnya salah, itu tidak menjadi amal baik. Sebaliknya meskipun niatnya benar, tapi kalau caranya disengaja salah, itu juga bukan amal. Jadi yang disebut amal baik adalah segala aktivitas, baik aktivitas fisik, indra, pikiran maupun hati /perasaan yang didasari dengan niat yang baik, kemudian pelaksanaannya juga baik, niatnya benar dibarengi dengan pelaksanaanya yang benar. 
Jadi validatornya : Tujuannya benar, niatnya benar, caranya benar, maka semuanya akan beres dan disitu terdapat amal yang baik. 

Ada jenis amal dimana yang manfaatnya terus menerus, dan ada amal yang manfaatnya terputus. 
Amal yang manfaatnya terus menerus disebut sebagai amal jariyah. Sepanjang amal itu masih mendatangkan manfaat, maka pahalanya akan terus mengalir. Misalnya orang tua yang memberi nafkah kepada anaknya. Misalnya nafkah berupa makanan dengan niat yang benar, niatnya Bismillah dan caranya benar. Maka sepanjang makanan itu menjadi pertumbuhan anaknya dan masih berfungsi memberi manfaat dalam kehidupannya, maka pahalanya akan selalu mengalir sampai fungsinya hilang atau tidak berfungsi lagi. Misalnya memberi makan sehari-sehari, dan diniatkan dengan niat yang benar, dengan niat ibadah, kemudian makanan tersebut menjadi daging di dalam tubuh anaknya, menjadi syaraf-syaraf dan dipakai dan bermanfaat bagi anaknya tersebut secara terus menerus. Selama manfaat itu masih ada pada anaknya, maka selama itu orang tuanya mendapat aliran pahala. 
Jadi bagi orang tua jangan sekedar memberi nafkah kepada anaknya hanya sekedar “…Ya, namanya orang tua dimanapun ya begitu..” Kalo hanya seperti itu, ayam juga begitu, kambing, sapi juga begitu. Tapi bagi orang yang beragama, orang tua menafkahi anaknya, maka niatnya harus Bismillah; melaksanakan perintah Allah. Itulah bedanya manusia bragama dengan yang tidak beragama, bedanya manusia dengan hewan. 
Hewan apapun kalau berposisi sebagai orang tua/induknya, mesti dia menafkahi anaknya, entah itu sapi, kambing, kucing atau burung elang yang mempunyai sarang di atas pohon yang tinggi atau di atas bukit yang terjal. Pada posisi sebagai orang tua maka mereka memikirkan nafkah makanan kepada anaknya. 
Kalau kita hanya punya kesadaran hayawani seperti itu, maka hidup kita tidak bermutu, dan disitulah kemudian ajaran agama bisa menentukan kita bagaimana agar menafkahkan kepada anaknya agar bisa menjadi amal jariyah. 

Jadi tujuannya tidak boleh salah. Tujuannya adalah dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah. Jadi sekali lagi niatnya jangan seperti ini “….ya, kewajiban semua orang tua khan memang seperti itu…” ya memang sih. Tapi orang kafir, orang atheispun mengatakan seperti itu, bahwa semua orang tua mempunyai setting default dalam dirinya bertanggung jawab kepada anaknya. Tapi bukan cuma itu, binatang juga punya seperti itu. Jadi disitulah pentingnya agama agar kita bisa mencapai nilai yang lintas dunia, nilai-nilai yang lintas dimensi, sehingga dari yang fisik bisa menjadi spiritual. Bagaimana sekedar makan tapi bisa menopang kebaikan dan ketentraman diri, yaitu tujuan dan niatnya jangan salah. 
Maka semakin kita menafkahi anak kita, semakin kita akan mempunyai ketentraman dan kemudian tidak menjadi bargaining. 
Kadang orang-orang tua mencari nafkah kepada anaknya untuk menjadi bargaining, bargaining untuk dihormati, bargaining masa tua supaya nanti kalo saya sudah tua nanti ada yang merawat. Ajaran agama, yang sepanjang kita tahu tidak mengajarkan itu, hal itu bisa membuat kita terjebak lagi ke orientasi hasil. Jadi, kalo kita menafkahkan anak kita, supaya bisa menjadi amal jariyah, tujuannya harus benar, caranya benar dan tidak perlu orientasi hasil, karena hal itu bisa melunturkan amal jariyah kita. 

Bayangkan, kalau setiap orang tua, setiap hari bekerja membanting tulang untuk bisa menafkahi anaknya atau keluarganya, mestinya tidak mungkin tidak masuk syurga. Kalau orang tua punya anak, lalu dinafkahi, di kasih makan setiap hari dengan tujuan yang benar, niat yang benar, bukan orientasi hasil, tapi orientasinya “Bismillah” dan caranya juga benar, itu adalah sesuatu yang luar biasa. 

Belum lagi kemudian sebab pendidikan orang tua kepada anak - asal jangan salah tujuan atau niat. Kalau orang tua punya anak, kemudian memberi nafkah setiap hari berupa nafkah makanan dan nafkah pendidikan, kayaknya nggak mungkin orang tua itu masuk neraka, kalau tujuannya benar, niatnya benar dan caranya juga benar. 
Tapi kalau kita kemudian tidak terikat dengan Tuhan, tidak terikat dengan Tauhid, tidak terikat dengan nilai-niali spiritual, tidak terikat dengan bagaimana kita memberi pondasi amaliyah itu, atau hanya sekedar berjalan alamiah saja - seperti binatang berjalan secara alamiah, ya tidak ada mutunya, tidak ada nilai spiritualnya, sehingga tidak ada kontribusi terhadap proses kebahagiaan seseorang. 

Dari dulu sampai sekarang menafkahi anaknya, tetapi jiwanya masih khawatir, masih nelongso, sesambatan, pasti tujuannya ada yang salah. Dan yang paling mengganjal tujuan dan niat adalah, kalau kita berpegang pada orientasi hasil. Menafkahi anak supaya mendapat penghormatan dari anak-anaknya, menafkahi anak agar anaknya pada nurut, agar masa tua nanti ada yang membalas dan merawat. Itu semua adalah jegalan-jegalan orientasi hasil sehingga melunturkan mutu tujuan. 

Semakin tujuannya benar, semakin niatnya benar, semakin dia menfkahi anaknya, maka semakin hari hidupnya akan semakin tentram, semakin bahagia dan dia murni melaksanakan itu semua dengan tujuan untuk mendekatkan diri kepada sumber kebenaran, yaitu Allah. Karena dia melaksanakan itu semua karena untuk melaksanakan perintah Allah. Tidak dijadikan sebagai alat bargaining kepada anaknya. 
Jadi jangan terjebak pada orientasi hasil, dan anaknya juga harus melaksanakan tugas sebagai anak. Kalau masing-masing berorientasi kepada tugas, hidup ini menjadi sangat indah. Tapi kalau masing-masing berorientasi kepada hak, berorientasi kepada hasil, akan menjadi bencana, keluarga repot, masyarakat repot apalagi kalau menjadi pejabat, lebih mengerikan. 

Amal itu adalah aktifitas yang ada motifnya, ada faktor kesengajaan, ada niatnya. Kalau tidak ada semua itu, maka tidak bisa disebut amal. Contohnya orang ngelindur dan orang gila. Dia punya aktivitas tetapi tidak ada motifnya. Itu bukan amal perbuatan. 

Amal itu dibagi dua: Amal baik dan amal yang tidak baik/amal buruk. Amal yang baik adalah apabila tindakan, aktivitas yang niatnya baik dan caranya baik. 
Amal baik itu ada yang menjadi amal jariyah apabila manfaatnya terus berlanjut, sehingga aliran dari pahala itu juga terus menerus. 

Ada yang lebih spesial dari dari jenis amal jariah, yaitu Ilmu. Misalnya sharing seperti ini, karena ilmu tidak pernah habis. Berbeda dengan amal jariyah yang berupa fisik, uang misalnya, atau hal-hal yang sifatnya fisik. Itu semua suatu saat pasti akan habis. Tapi kalau ilmu tidak pernah akan habis atau berkurang. 
Kalau kita mempunyai amal jariyah yang terkait dengan ilmu, apalagi kemudia ilmu itu ditularkan lagi kepada orang lain sehingga manfaatnya bisa lebih menyebar lagi, maka kita akan mendapat pahala yang berlipat-berlipat, sehingga satu butir bisa menjadi 700 butir dst. Jadi ilmu merupakan amal jariyah yang lebih spesial. 

Tapi ada yang lebih spesial lagi yang bisa dipakai sebagai sarana amal jariyah, yaitu anak yang shaleh/shalehah. Itu luar biasa, karena mereka juga nanti akan mempunyai keturunan/cucu, kemudia mereka juga mendidik anaknya berdasarkan saham ilmu dari orang tuanya yang diajarkan kepada anak-anaknya dst.- Amal jariyah dan investasi yang tercanggih. Yang penting tujuan, cara dan niatnya benar. 

Kita jangan terjebak mencari akibat, tapi mari kita mencari sebab-sebab, sehingga orientasi kita ke orientasi tugas bukan orientasi ke akibat atau orientasi hasil, karena hasil itu pasti mengikuti, hasil itu adalah akibat. Jadi, tanpa kita menghitungnya berapa aliran pahala kita, otomatis pasti akan ada hitungannya, karena ada hukumnya, ada sunatullah-Nya dan ada akibatnya. Yang penting kita konsentrasi pada tugas. Nggak perlu kita memikirkan akibat, karena akibat pasti ikut. 

Agar tujuannya lebih bermutu, niatnya juga semakin murni, tujuannya adalah Taqarrub Ilallah, mendekatkan diri kepada Allah, kepada sumber kesempurnaan. Niatnya adalah Bismillah, tujuannya hanya kepada Allah, bukan kepada yang lain. Tujuannya bukan untuk mencari bahagia, bukan untuk sorga, tujuannya hanya untuk mendekatkan diri kepada Allah. Semakin dekat kepada Allah yang lain pasti akan ikut beres. 

Jadi niatnya bukan belajar untuk menjadi pandai, bukan kuliah supaya dapat kerja, niatnya bukan kerja supaya dapat uang, bukan ini dan bukan itu. Niatnya hanya Bismillah, yaitu melaksanakan perintah Allah, maka akibatnya pasti mengikuti, yaitu caranya dengan cara yang benar, sepanjang kapasitas pengetahuan kita tentang kebenaran kita. Tidak diukur dengan kebenaran Tuhan dan tidak diukur dengan kebenaran wakil-wakil Tuhan. 
Kebenaran Kita diukur dengan kebenaran yang sudah bisa kita tangkap, tapi kita tetap harus terus berproses untuk mencari kebenara-kebenaran yang lebih tinggi lagi. 

Punya anak yang banyak, tapi syaratnya harus bisa memberi nafkah yang baik dan bermutu, nafkah berupa makanan yang halal dan toyibah dan berkah, nafkah berupa pendidikan dimana sentralnya di Tauhid. Tapi kalau kita khawatir tidak mampu, maka punya anak satu saja, itu investasi masa depan lintas sektoral ke lintas dunia lebih-lebih lagi ke lintas alam… 

wassalam

Tidak ada komentar:

Posting Komentar