Sabtu, 19 Maret 2016

SIAPA YANG MENCIPTAKAN TUHAN?

Pada saat kita ingin mengenal Tuhan dengan argumentasi, dengan rasio dengan logika atau dengan filsafat, ada dua pendekatan yang saya fahami, mungkin yang ditangkap beliau - mas Ramlan- itu seperti itu, yaitu membuktikan adanya Tuhan yang pertama dengan bersandar pada prinsip sebab akibat, yang kedua bersandar dari prespektif ada dan tiada. 
Tidak hanya itu, ada metode-metode lain yang tidak hanya dua metode itu, itu hanya diantara metode yang ada. Ada nanti yang disebut dengan pembuktian secara fitroh, misalnya. Ada pembuktian secara logika, ada pembuktian secara filsafat, dll. Tapi metode-metode itu semuanya mengajak kita, menginformasikan kepada kita, mengajari kita, bagaimana kita berupaya dalam rangka mengenal Tuhan dalam rangka makrifatullah/mengenal Allah.

Pintu masuk dari mengenal Allah itu ada pada pembahasan tentang pembuktian "ada" atau "tidak adanya" Tuhan, itu pintu masuk. Baru nanti ke masalah ke-bagaimana-an Tuhan tentang kaifiyah Illahiyah, ke-bagaimana-an Allah. Nanti ada pembahasan sifat dll. Tetapi pintu masuknya itu adalah tentang: Adakah Tuhan?

Kalau kesimpulan dari pertanyaan "adakah Tuhan?" jawabannya tidak ada, ya sudah, berarti yang lain tidak usah di pikir, rasul nggak usah di pikir, agama nggak usah di pikir, kita suci nggak usah dipikir, wong Tuhan ngak ada kok.. Kalau kita sudah menjawab "Tuhan tidak ada", buat apa kita membahas sifat-sifat Tuhan? wong nggak ada kok dibahas. 

Maka, disebut sebagai pintu masuk, karena dari situlah yang lain-lain terkait. Kalau kita sudah membuktikan bahwa Tuhan ada, maka kita tidak bisa mengabaikan ada rasulnya, ada utusannya, ada kitab sucinya. Kemudian ada pembahasan-pembahasan lebih lanjut tentang tauhid, setelah kita menjawab, setelah kita menyimpulkan, setelah kita memahami, setelah kita meyakini bahwa "Tuhan itu ada"

Nah, metode itu, paling tidak atau yang pernah saya sharingkan di acara ini, itu metodenya ada dua. Metode itu dari bentuk "metode pendekatan rasional" - dua pendekatan rasional dalam pembuktian adanya tuhan itu. 

Dulu, waktu saya masih kecil itu di ajari, rumusnya adalah bahwa setiap yang ada, ada yang mencipta. Apapun yang ada maka kita akan bisa buktikan bahwa itu ada yang mencipta. Apa itu komputer, blackberry, laptop, rumah, bulan, bintang dll. Ternyata semua yang kita sebut itu, semua ada yang mencipta. Maka ditarik sebuah kesimpulan atau rumus, bahwa "setiap yang ada pasti ada yang membuat". 

Tapi rumus itu kemudian menjadi ter-kritisi pada saat muncul pertanyaan: "Apakah tuhan ada..."? ada. Rumusnya: "setiap yang ada, ada yang mencipta". Tuhan ada..? ya ada. Setiap yang ada, ada yang membuat. Lalu yang membuat Tuhan siapa? 
Disitu rumus tadi di uji. Saya bingung dengan pertanyaan itu lebih dari 10 tahun. Baru kemudian menemukan jawabannya. Ooh.. ternyata rumusnya salah - tapi salah menurut saya lho ya.. Mungkin menurut orang lain masih dipakai kok rumus ini. Di kampus itu saya lihat terakhir, waktu saya masuk di kampus, masih dipakai untuk pembuktian Tuhan dengan rumus ini: "setiap yang ada, ada yang mencipta". Alam semesta ini ada, ada yang mencipta. Yang mencipta alam semesta ini adalah Tuhan. Jadi saya bingung lebih dari 10 tahun tentang ini dengan adanya pertanyaan: Tuhan khan ada, "setiap yang ada, ada yang membuat", berarti Tuhan harus ada yang membuat donk, lalu siapa yang membuat Tuhan...? 

Rumus itu jadi dipertanyakan. Pada akhirnya dalam perjalanan saya berikutnya, saya coret rumus itu karena saya tahu titik salahnya secara logis, secara rasional. 
Kemudian saya dapatkanlah metode yang lain. Ternyata metodenya banyak, tidak hanya itu, dan ternyata itulah satu-satunya metode rasional yang saya terima waktu saya kecil sampai menjelang muda, ternyata akhirnya harus saya revisi sendiri. 

Saya lebih kemudian mengambil metode pembuktian tentang "Adanya Tuhan" itu dengan metode yang sangat universal, tidak peduli orang itu beragama atau tidak, tidak peduli orang itu punya kitab suci atau tidak. 
Jadi dasarnya bukan kitab suci, bukan ayat, karena yang akan kita bahas adalah "Adanya Tuhan". kalau kita sudah bahas "bahwa Tuhan Ada", baru kita bisa membahas tentang firmannya, ayat-ayatnya, kalamnya, kata-katanya. Tapi kalau "Ada" dan "Tidak"-Nya saja belum kita pastikan. 
Apalagi kalau kita membuat argumen: Tuhan itu ada, buktinya dari ayat. Itu namanya overlapping. Wong kita baru mau buktikan "Ada"-Nya, kok kita sudah meyakini dia punya kata-kata?. Itu dalam tertib berfikir disebut sebagai overlapping dalam berfikir. Nanti hukumnya adalah Hukum Daur. Daur itu seperti lingkaran yang tidak ada ujung pangkalnya. Dulu saya juga di ajari untuk membuktikan adanya Tuhan, diambilkan dalil ayat. lho "Ada" dan "Tidak"-Nya masih kita pertanyakan, kenapa kita sudah mengambil kata-katanya?, ayatnya?, firmannya? Itu saya komplain juga. 

Akhirnya, ketemulah metode "sebab-akibat", yang menyatakan bahwa "Setiap sebab pasti meniscayakan adanya akibat". Rumusnya itu. "Setiap akibat, pasti membutuhkan sebab". 
Rumus itu bisa dibantah nggak? Rumus itu bisa diterima semua manusia, entah manusia beragama atau tidak, entah manusia baik atau manusia buruk. Bisakah rumus ini digugat?, yaitu bahwa "setiap akibat pasti membutuhkan sebab"?. Bisa nggak rumus ini digugurkan?, entah orang beragama, entah tidak, entah orang baik, entah orang buruk. Bisakah rumus ini digugurkan? Sepanjang yang saya tahu, semua orang sepakat dengan ini. Orang beragama atau tidak, orang yang mempunyai kitab atau tidak, orang yang baik ataupun yang buruk. Dia sepakat dengan hukum ini, bahwa "setiap akibat membutuhkan sebab". Itu kemudian bisa dijadikan sebagai hukum universal, hukum yang diterima disemua kalangan. 

Kalau kita membuktikan "Ada" atau "Tidak Ada"-Nya Tuhan dengan ayat, itu namanya tidak tertib dalam berpikir, itu nanti overlapping dalam urutan berpikir. Itu tadi, "Ada" dan "Tidak"-Nya itu yang kita bahas, kok kita sudah meyakini firman-Nya. Padahal "Ada" dan "Tidak"-Nya itu masih kita bahas. 
Kalau kita sudah mengambil kitab-Nya, berarti kita sudah meyakini, sudah menyimpulkan "Ada"-Nya, dan Dia punya firman, firman itu ada di kitab, gitu khan?. Itu nanti overlaping dalam berfikir. 
Tapi waktu saya kecil, nggak diajari begitu, nggak di ajari bahwa kalau berfikir begitu overlapping, kalau berfikir begini tidak tertib, hal itu tidak di ajari, karena saya lebih diajari untuk manut ketimbang faham, untuk taat ketimbang mengerti.

Setelah rumus tadi bisa diterima secara universal, kemudian dengan rumus itulah kita membangun fikiran kita secara rasional, secara logis untuk membuktikan bahwa "Tuhan itu ada". Bagaimana membuktikannya? Sekarang kalau kita sudah punya pondasi dari rumus itu, "bahwa setiap akibat butuh sebab".  Bangunan berfikirnya begini: "Kalau akibat ada, apakah sebab-nya ada"? Kita khan berangkat dari rumus: "setiap ada akibat butuh adanya sebab".  Berarti kalau akibat ada, sebab pasti ada donk. 
Kemudian kita lebih detilkan lagi: "Apakah sebab itu"? dan "apakah akibat itu"? Saya menggunakan definisi yang mudah, yaitu: 
"Sebab adalah sesuatu yang meniscayakan adanya akibat"
"Akibat adalah sesuatu yang membutuhkan sebab", 
"Akibat adalah sesuatu yang dia membutuhkan sesuatu di luar dirinya yang sering disebut dengan sebab". Dengan definisi itu, kita bisa lebih masuk ke dalam. 

Coba kita lihat: kalau mas Ramlan itu, "Ada"-nya butuh sesuatu diluar dirinya nggak? Iya..., butuh Bapak, butuh Ibu, butuh bertemunya sperma dan ovum dll. Berarti dia butuh kepada selain dirinya. Setiap sesuatu, apapun yang dia butuh kepada selain dirinya, maka dia pasti masuk kepada katagori akibat, karena dia butuh sebab. 

Segala sesuatu dimana dia butuh sebab, maka dia pasti akibat. Meskipun seandainya di dalam dirinya itu ada potensi sebab. Tapi kalau dia butuh kepada selain dirinya, dia masuk ke dalam katagori akibat yang punya potensi sebagai penyebab. 
Misalnya mas Ramlan, keberadaan fisik beliau itu butuh keberadaan Bapak dan Ibu khan? Sementara mas Ramlan sendiri juga punya potensi bisa punya anak, menyebabkan adanya anak. Tetapi potensi punya sebab yang ada pada mas Ramlan ini, tidak bisa merubah katagori beliau sebagai akibat. Jadi, beliau ini, mas Ramlan, mas Doni, Saya, katagori kita adalah akibat, yang di dalam diri kita ada potensi sebab-sebab. Tetapi tetap kita masuk - ada wilayahnya - itu sebagai eksistensi akibat. Keberadaan yang butuh kepada selain diri kita, maka itu masuk pada wilayah akibat. 
Kalau seperti komputer, HP, khan jelas, untuk dia "ada" itu, butuh sebab-sebab tertentu, maka dia akibat. 
Kita bisa sebut semua apapun dari makrokosmos sampai mikrokosmos, dari mikroba sampai planet-planet. Apakah dia punya kebutuhan kepada selain dirinya? Pada saat dia itu butuh kepada selain dirinya, maka dia pasti akibat. 

Kita tarik kesimpulannya, bahwa Saya adalah akibat, mas Ramlan adalah akibat. Apakah Saya sudah bisa membuktikan bahwa akibat itu ada?. Apakah mas Ramlan bisa menolak kesimpulan Saya itu. Apakah orang baik ataupun orang buruk, dan dia berlogika, dia berfikir,  dia bisa menolak statment saya? yang menyatakan bahwa "akibat itu ada"? Buktinya "Saya", Saya "ada" sebagai akibat. Mas Ramlan "ada" juga sebagai akibat. Mas Doni "ada" juga sebagai akibat. 
Bisakah kesimpulan saya ini dipatahkan secara logis? Secara rasional, bahwa saya sudah membuktikan "akibat itu ada". 
Setelah itu kemudian, kalau kita sudah mantap dengan kesimpulan itu, bahwa kita sudah membuktikan dengan sangat valid bahwa "akibat itu ada". 
Selanjutnya,  kalau akibat-nya ada, sebab-nya ada nggak? kemudian kita globalkan: Alam semesta yang fisik ini, yang nanti di area lain disebut sebagai alam kemakhlukkan, ada khan?, akibat-kah? Pasti ada sebabnya. Pertanyaannya: "Sebab-nya ada" kah?, butuh sebab nggak? kalau butuh sebab, berarti dia akibat, bukan sebab. 
Kalau masih dipertanyakan: Sebab-nya ada, dia khan butuh sebab, pasti dia akibat, bukan sebab. Terus kita tanya berulang-ulang terus akan begitu. 
Misalnya begini: Sebab itu Tuhan, ya Tuhan. Tuhan butuh sebab nggak untuk "ada"-Nya? Kalau butuh sebab berarti dia akibat, berarti bukan Tuhan. Setiap yang butuh sebab, pasti dia akibat. 

Kita sudah buktikan, bahwa "akibat itu ada". Kita tidak bisa menyangkal itu. Akibat sudah kita buktikan dengan amat nyata, amat jelas, karena saya sendiri buktinya, mas Ramlan sendirilah buktinya bahwa akibat itu ada, kalau akibat-nya sudah kita buktikan ada, bisa kah kita mengatakan sebab-nya tidak ada?  Nanti, setiap akibat itu pasti butuh sebab. Kalau akibat-nya ada, pasti sebab-nya ada. 

Apakah akibat? "Akibat adalah sesuatu yang butuh kepada sebab". Jadi yang ada semua ini akibat, selain sebab, ya. ya sebab sendiri bagaimana adanya, dia butuh sebab nggak? kalau butuh sebab berarti dia akibat. Jadi Tuhan butuh sebab nggak? kalau Dia butuh sebab berarti dia akibat, berarti bukan Tuhan, karena tidak sempurna, karena dia butuh selain dirinya, begitulah kira-kira. Nah, semua akibat akibat tadi, kita masukkan di dalam kantong plastik yang namanya kantong akibat. Semua total akibat kita, khan sudah kita buktikan bahwa akibat itu ada. Kalau kita sudah tidak bisa menolak bahwa akibat itu ada, masak kita mengatakan sebab-nya tidak ada? Nggak mungkin khan? wong akibat-nya ada kok. 

Kita menolak sebab-nya, sebab-nya yang mana? Sebab-nya yang tidak butuh sebab, dia pasti ada? pasti ada! Akibat-nya jelas ada kok, siapa dia? ya Tuhan, itulah Tuhan, mbahnya sebab, Sang Sebab. dia tidak pernah butuh selain dirinya,

Tidak ada komentar:

Posting Komentar